Dalil disyariatkannya i'tikaf ialah firman Allah Ta'ala:
"Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail:"Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i'tikaf, yang ruku, dan yang sujud" (QS-2-125).
Adapun dari As-Sunnah antara lain adalah:
Dari Aisyah r.a. ia berkata: rasulullah SAW melakukan i'tikaf pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan, sampai saat ia dipanggil Allah Azza wa Jalla (Hr Bukhari dan Muslim).
Dan dari Ibnu Umar r.a. ia berkata: Rasulullah SAW melakukan i'tikaf pada sepuluh malam terakhit bulan Ramadhan (HR Bukhari dan Muslim).
Sebuah hadis yang berasal dari Aisyah r.a. meriwayatkan bahwa:
Adalah Rasulullah SAw, apabila masuk sepuluh hari, ialah sepuluh hari yang terakhir dalam bulan Ramadhan, beliau menjauhi istrinya, dan menghidupkan malamnya, dan membangunkan ahli rumahnya (HR Bukhari dan Muslim).
Dan dari Aisyah pula, ia berkata; "Adalah Nabi SAW apabila beliau hendak ber-i'tikaf, beliau shalat subuh lalu masuk ke tempat i'tikafnya (Hr Bukhari dan Muslim).
Dalam hadis lain, yang juga diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim disebutkan:
Dan dari Aisyah r.a., dari Nabi SAW, bahwa beliau bersabda: "Barangsiapa ber-i'tikaf karena iman dan ikhlas, maka diampunilah dosanya yang telah lewat."
Kata i'tikaf berasal dari kata 'akafa alaihi, artinya, ia senantiasa atau berkemahuan kuat untuk menetapi itu atau setia kepada itu. Secara harfiah kata i'tikaf berarti tinggal di suatu tempat, sedangkan syar'iyah kata i'tikaf berarti tinggal di masjid untuk beberapa hari, teristimewa sepuluh hari terakhir bulan ramadhan.
Selama hari-hari itu, mu'takif yaitu orang yang menjalani i'tikaf, mengasingkan diri dari segala urusan duniawi, danmenggantinya dengan kesibukan ibadat dan zikir kepada Allah dengan sepenuh hati. Dengan i'tikaf seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW, kita berserah diri kepada Allah dengan menyerahkan segala urusannya kepada-Nya, dan bersimpuh di hadapan pintu anugerah dan rahmat-Nya.
Rukun I'tikaf
Rukun artinya dasar-dasar utma atau bagian-bagian pokok yang mutlak harus diyakini dan dikerjakan, seperti rukun iman, rukun islam, rukun shalat, dan sebagainya.
Adapun yang termasuk rukun i'tikaf itu ada tiga:
- Mu'takif atau orang yang akan beri'tikaf; karena i'tikaf itu pekerjaan, mau tidak mau harus ada pelakunya.
- Tinggal di masjid, oleh karena itu tidak sah kalau di rumah. Sayyidina Ali r.a. pernah mengatakan : "Tidak sah i'tikaf selain dalam masjid yang digunakan untuk berjamaah". Karena dalam masjid yang biasa digunakan untuk berjamaah itulah biasanya kita senantiasa siap sepenuhnya untuk melakukan shalat apa saja sebaik-baiknya, termasuk apabila sewaktu-waktu shalat berjamaah dilaksanakan.
- Tempat beri'tikaf, yaitu tempat yang diambil mu'takif untuk tinggal selama dalam i'tikafnya.
Hal-hal yang Membatalkan I'tikaf
I'tikaf merupakan khalwat Rabbani dan latihan ruhani, dimana sesorang menyendiri di masjid, jauh dari pergaulan sesama makhluk demi cintanya kepada Allah SWT. Disana ia mengingat Allah dan mengagumi ciptaan-Nya, kekuasaan-Nya, dan keagungan-Nya. Kepada-Nya ia berdoa dan bermunajat serta mengaharap pahala dan memohon agar dirinya dan keluarganya dijauhkan dari siksa-Nya. Dengan segala kerendahan hati, ia memohon diselamatkan dari kobaran api jahanam yang panasnya tiada terkira.
Ber i'tikaf pada sepuluh malam terakhir secara berturut-turut sangat terpuji. Oleh karena itu, seseorang yang beri'tikaf tidak boleh meninggalkan masjid, kecuali untuk memenuhi keperluan (hajat), seperti misalnya buang air kecil atau besar, atau mandi, dan sebagainya (HR Bukhari). Dan sekiranya ia bernazar ber i'tikaf secara berturut-turut (atau meniatkannya) lalu ia keluar dari tempat i'tikaf-nya itu untuk hal-hal yang tidak termasuk darurat, maka terputuslah i'tikafnya itu karena tidak memenuhi persyaratan "berturut-turut". Yaitu, sebagai contoh, jika ia keluar untuk mengunjungi, atau menjadi saksi dalam suatu perkara, atau menghadiri jenazah, atau mendatangi kawan, dan sebagainya. Diriwayatkan dalam hadis sebagai berikut:
"Sunnat bagi orang yang sedang i'tikaf tidak boleh menengok yang sakit, jangan menyaksikan jenazah, tidak boleh menyentuh perempuan dan jangan bercumbu, dan jangan keluar (dari masjid) untuk satu keperluan kecuali dalam perkara yang tidak boleh tidak, dan tidak ada i'tikaf melainkan di masjid kami" (HR Abu Dawud).
Kesinambungan i'tikaf terputus dengan melakukan senggama, sekalipun sampai mengeluarkan sperma (mani) , karena Allah SWT telah berfirman:
Janganlah kamu mencampuri mereka (istri-istrimu) ketika kamu ber-i'tikaf di dalam masjid (QS-2-187).
Meskipun demikian, mu'takif (orang yang sedang ber i'tikaf) boleh dikunjungi oleh tamu atau istrinya (HR Bukhari), dibolehkan pula untuk memakai wangi-wangian, mengakadkan nikah (ijab kabul), makan, tidur, mencuci tangan, dan sebaginya. Semuanya itu adakalanya diperlukan , dan tidak memutuskan kesinambungan i'tikaf. Demikian juga tidak terputus apabila mu'takif mengeluarkan sebagian tubuhnya dari ruangan masjid. Diriwayatkan dari Aisyah r.a. bahwa Rsulullah adakalanya memasukkan kepalanya ke dalam kamar beliau (yang bersebelahan dengan ruangan masjid) agar dapat disisiri oleh Aisyah r.a. yang berada di kamar itu. Aisyah berkata:
Pernah Rasulullah SAW mengulurkan kepalanya kepada saya sedangkan beliau berada di masjid, kemudian saya menyisir rambutnya. Dan beliau tidak masuk rumah apabila sedang ber-i'tikaf, kecuali bial ada keperluan (HR Bukhari dan Muslim).
No comments:
Post a Comment